Kenal Lebih Dekat dengan Sejarah Kota Medan
Infonesia.id- Apa kabar sahabat infonesia? Pada artikel kali ini kita akan memberikan sejarah Kota Medan. Kota Medan merupakan masuk dalam kota terbesar di Indonesia. Tentunya Kota Medan juga bisa dipastikan menjadi tolak ukur perekonomian nasional.
Sejarah Kota Medan
Kota Medan pada zaman dahulu disebut dengan nama Tanah Deli. Luasnya sekitar 4.000 Ha dan memiliki kontur tanah yang berawa. Banyak sungai yang melintas di Tanah Deli, Diantaranya
1. Sei Deli
2. Sei Sikambing
3. Sei Denai
4. Sei Putih
5. Sei Badra
6. Sei Babura, Sei Sulang saling/Sei Kera
7. Sei Belawan
Nah seluruh sungai ini bermuara ke Selat Malaka. Orang yang pertama membuka kampung di Tanah Deli adalah Guru Patimpus. Dahulunya luas Tanah Deli ini terbentang dari Sungai Ular (Deli Serdang) hingga Sungai Wampu (Langkat.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
2. Kampung Medan Putri dan Tembakau Deli
Awal berkembangnya Tanah Deli adalah dengan terbentuknya kampung bernama Medan Putri. Posisi kampung ini sangat strategis, karena berada di pertemuan sungai Deli dan Babura. Kedua sungai ini adalah lalu lintas perdagangan, sehingga Medan Putri ini disebut sebagai cikal bakal Kota Medan. Kedua sungai ini juga menjadi pelabuhan transit untuk kapal-kapal pedagang.
Guru Patimpus dan istri mempunyai dua anak, yakni si Kolok dan si Kecik. Pada zaman ini Guru Patimpus dan istrinya yang mendirikan kampung Medan, sangat berpikiran maju. Terbukti, guru Patimpus menyuruh anaknya untuk menuntut ilmu membaca Al Quran ke Datuk Kota Bangun dan memperdalam agama Islam ke Aceh.
Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli In Woord en Beeld ditulis oleh N.Ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak diseberang sungai dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini.
Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli.
Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan putri Datuk Sunggal. Setelah terjadi perkawinan ini raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.
Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
Jhon Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823 dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut. Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“ (terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.
Pesatnya perkembangan Kampung “Medan Putri”, juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.
Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung “Medan Putri”. Dengan demikian “Kampung Medan Putri” menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai “Kota Medan”.
3. Legenda Kota Medan
Pada zaman dahulu menurut legenda, di Kesultanan Deli, kira-kira 10 km dari Kampung Medan yakni Deli Tua, ada seorang putri yang terkenal dengan kecantikannya. Sangkin cantiknya, hingga diberi nama Putri Hijau. Putri hijau ini terkenal dari Aceh hingga utara Pulau Jawa.
Hingga pada suatu hari Sultan Aceh ingin melamar Putri Hijau. Namun, lamaran Sultan Aceh ditolak oleh saudara kedua laki-laki Putri Hijau. Sultan Aceh murka karena ditolak, sehingga terjadilah perang antara kesultanan Aceh dan Deli.
Dari legenda ini saudara Putri Hijau dengan kekuatan gaib, menjadi seekor ular naga, dan seorang lagi menjadi meriam yang terus menembaki tentara Aceh.
Dalam pertempuran tersebut, Kesultanan Deli lama mengalami kekalahan. Saudara Putri Hijau yang menjelma menjadi meriam, meledak. Bagian meriam tersebut sebagian terlempar ke Labuhan Deli dan sebagiannya lagi di Karo, jaraknya sekitar 5 km dari Kabanjahe.
Putri Hijau yang menjadi target Sultan Aceh, akhirnya ditahan dan dimasukkan ke dalam peti kaca. Putri Hijau dibawa ke Aceh dengan menggunakan kapal.
Saat kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur dan permohonan tuan Putri dikabulkan. Tetapi baru saja uapacara dimulai tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat disusul gelombang-gelombang yang sangat tinggi.
Dari dalam laut muncullah abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dan dengan menggunakan rahangnya yang besar itu diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut.
Cerita legenda ini masih terus dilestarikan di kalangan masyarakat Deli hingga Melayu Malaysia. Sementara itu, di Deli Tua masih terdapat reruntuhan benteng dan puri dari zaman Putri Hijau. Sisa meriam saudara dari Putri Hijau, kini bisa dilihat di Istana Maimun Medan.
Itu dia sedikit sejarah singkat tentang Kota Medan.